Catatan : Wiku Sapta
Akhirnya, pelaku penembakan terhadap Pemred media online di Siantar, Mara Salem Harahap, dikuak.
Kerja tim Direktorat Kriminal Umum Polda Sumut dan Satreskrim Polres Simalungun, selama beberapa hari, berbuah apik.
Dua pelaku, penembak sehingga nyawa Marsal.melayang, semalam dipertontonkan Kapolda IJP Panca Putra Simanjuntak. Bukan tanggung, saat rilis di depan wartawan, Pangdam I/BB, ikut mengawal.
Pelakunya 2 orang. Diinisialkan oleh polisi sebagai Y dan A. Pemilik sebuah tempat hiburan dan seorang rekannya. Kapolda menduga, motifnya sakit hati.
Y dan A, gondok, kesal dan jengkel.sekali, karena jadi sapi perahan. Dijadikan ATM tiap bulan.
Korban, dituduh oleh pelaku, meminta bagian Rp12 juta setiap bulan, dari bisnis hiburannya.
Tak hanya itu. Korban juga mematok 2 butir narkoba (berupa inex) setiap harinya. Estimasi 2 butir inex itu sama dengan 500 ribu rupiah. Dengan kurs sebutirnya Rp250.000. Kalau perbutirnya lebih dari situ, hitung sendirilah upetinya.
Artinya, selain Rp12 juta sebulan, Ferari, begitu nama tempat hiburan itu, wajib menyiapkan Rp15 juta lagi.
Dihitung dari kalkulasi Rp500.000 dikali 30 hari. Dalam bentuk ekstasy. Untuk korban. Jika dimaktubkan dalam komponen gaji, lengkap embel-embel tunjangan ala pegawai BUMN, Marshal berpenghasilan Rp27 juta. Tiap bulan.
Itu dari 1 tempat hiburan saja Bagaimana kalau ada dua, tiga atau malah lebih dari empat tempat? Wadedai….
Ckckck…….
Hitung-hitungan kasar soal upeti untuk korban itu, bikin saya meriang. Menggigil kayak kena serangan malaria. Mendengarnya, telinga saya seketika berdengung.
Sedahsyat itukah permintaan korban? 27 juta dalam bentuk upeti. Sehebat itu pula kah ilmu daya peras korban? Ke pemilik atau pengelola tempat hiburan?
Sehingga pelaku bisnis hiburan itu takluk, manut saja? Lalu karena tak kuat diperas berbuntut sakit hati? Ini sesuai versi Kapolda loh. Bukan pande-pandean saya. Motif sakit hati lantaran dijadikan mesin uang.
Disuap uang tapi berita tetap tayang.
Begitulah kira-kira. A dan Y, lalu merancang siasat. Memberikan pelajaran. Korban diintai. 300 meter dari rumah, A melepaskan tembakan.
Dor……paha korban berlubang. Pendarahan. Dan karena lambat ditolong, korban meregang di dalam mobil.
Belasungkawa berdatangan. Aksi turut merasakan duka dirancang. Semua mengutuk kerja biadab itu. Tapi apa lacur, gugurnya sang wartawan dikaitkan urusan pemerasan.
Malu! Ya saya maluuuuuuuuuu!!!!
Mau ditaruh kemana muka ini. Profesi mulia itu selalu saja dikaitkan soal uang. Apa karena finansial wartawan pas-pasan, maka selalu diidentikkan dengan pemerasan?
“Cocoknya Wartawan dan Polisi juga dilakukan test urine…acem…? Ending kss almarhum Marsal gak sedap dibunuh krn coba memeras dan minta jatah inek.”
“Ada wartawan, ada yg ‘seakan-akan wartawan’. Ada media, ada yg ‘seakan-akan media’.
Kalo wartawan & media, terikat dgn UU 40/1999, dimana uu itu mengamanahkan kpd Dewan Pers utk mengatur kegiatan pers.
Kalo ‘seakan-wartawan & media’, tdk pedulikan uu 40/1999 tsb.”
Itu kata kawan-kawan. Inilah malu semalu-malunya kami sebagai wartawan. Karena prinsip ragu, penasaran dan tak gampang percaya oleh cakap siapapun, kok seperti sirna dari ruh para wartawan.
Semudah itu memercayai dugaan motif kematian seorang wartawan, yang kalaupun betul memeras, bedebah narkoba yang diperas.
Bedebah-bedebah itu pantas diperas. Oleh siapa saja. Matikan saja mereka (bedebah narkoba). Karena sudah membunuh ribuan. Bahkan jutaan orang, termasuk.wartawan.
Lantas, masihkah kita percaya sama omong kosong bedebah-bedebah itu? Mereka mengaku sakit hati karena diperas. Oleh wartawan. Apa iya??
Bagaimana jjka yang lain, yang memeras? Apa iya bedebah itu berani sakit hati, lalu main tembak?(Penulis merupakan pimpinan redaksi medan cyber)